
Ketegangan kembali meningkat di Suriah bagian selatan setelah pecahnya bentrokan bersenjata antara dua komunitas etnis, yaitu suku Badui dan komunitas Druze, di wilayah Sweida, yang dikenal sebagai salah satu daerah terakhir di Suriah yang relatif stabil pasca perang saudara panjang.
Konflik yang bermula dari insiden kecil pada awal Juli kini berkembang menjadi perang antar kelompok bersenjata, dengan puluhan korban jiwa dilaporkan dan ribuan warga sipil mengungsi ke wilayah yang lebih aman.
Menurut laporan dari berbagai sumber lokal, bentrokan pertama kali terjadi setelah sebuah kendaraan milik warga Druze disergap oleh kelompok bersenjata yang diduga berasal dari suku Badui. Insiden itu menewaskan dua warga Druze dan memicu aksi balas dendam dari kelompok pemuda bersenjata di wilayah Sweida.
Ketegangan antara kedua kelompok ini sebenarnya telah lama terjadi, dipicu oleh persaingan sumber daya, distribusi bantuan kemanusiaan, hingga perbedaan identitas sosial dan budaya. Namun, selama bertahun-tahun, konflik itu diredam oleh tokoh masyarakat dan campur tangan pemerintah lokal.
Namun pada tahun 2025 ini, suasana kembali memburuk seiring melemahnya peran pemerintah pusat di wilayah selatan Suriah dan meningkatnya aktivitas kelompok bersenjata di daerah-daerah perbatasan.
Dalam waktu kurang dari dua minggu, bentrokan menyebar ke lebih dari 15 desa di sekitar Sweida dan Daraa. Laporan dari lembaga HAM Suriah menyebutkan bahwa lebih dari 40 orang tewas, termasuk warga sipil, dan lebih dari 100 orang terluka. Rumah-rumah, toko, dan fasilitas umum dilaporkan rusak akibat serangan roket dan senjata otomatis.

Laporan juga menyebutkan bahwa kelompok bersenjata Druze, yang sebagian besar berafiliasi dengan milisi lokal bernama “Fajer al-Jabal”, mulai melakukan mobilisasi besar-besaran untuk menjaga wilayah mereka dari serangan kelompok Badui yang dianggap sudah melanggar batas wilayah historis.
Di sisi lain, komunitas Badui yang tersebar di padang pasir sekitar wilayah timur dan selatan, juga mulai menggalang kekuatan. Beberapa sumber menyebutkan bahwa sebagian dari mereka telah mendapatkan dukungan logistik dari kelompok-kelompok bersenjata yang sebelumnya aktif dalam konflik Suriah.
Konflik ini membuat warga sipil semakin tertekan. Banyak keluarga di wilayah Sweida dan desa-desa sekitarnya mulai meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan ke wilayah pegunungan atau ke perbatasan Yordania.
Seorang warga bernama Hani al-Khatib, mengaku harus berjalan kaki selama lima jam bersama keluarganya untuk mencapai tempat aman. “Kami tidak tahu siapa yang berperang, siapa yang benar atau salah. Yang kami tahu, kami tidak bisa hidup dengan suara tembakan dan ketakutan setiap malam,” ujar Hani kepada media lokal.
Pemerintah pusat di Damaskus belum mengambil langkah tegas untuk menghentikan kekerasan tersebut. Presiden Bashar al-Assad hanya mengeluarkan pernyataan singkat bahwa “semua bentuk konflik sektarian harus dihentikan,” namun belum ada tanda-tanda pengerahan pasukan resmi ke wilayah konflik.
Banyak pengamat menyebut bahwa pemerintah Assad memang telah kehilangan kendali di sebagian besar wilayah selatan, termasuk Sweida, sejak kekuatan oposisi dan kelompok lokal mengambil alih keamanan secara de facto.
“Vacuum of power di wilayah selatan ini telah menciptakan ruang konflik antara komunitas-komunitas lokal. Negara sudah lama absen,” kata Bassam al-Khatib, analis politik Suriah.
PBB melalui Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) menyatakan keprihatinan mendalam atas eskalasi kekerasan dan menyerukan gencatan senjata segera antar kelompok bersenjata.
“Semakin banyak warga sipil yang menjadi korban, dan ini adalah pelanggaran nyata terhadap hukum kemanusiaan internasional,” kata juru bicara OCHA dalam konferensi pers di Jenewa.
Sementara itu, Pemerintah Yordania yang berbatasan langsung dengan Sweida mulai memperketat penjagaan di sepanjang perbatasan dan meningkatkan patroli militer untuk mencegah penyusupan kelompok bersenjata atau pengungsi ilegal.
Komunitas Druze, yang merupakan minoritas religius di Suriah, selama ini dikenal sebagai kelompok yang menjaga netralitas dalam konflik besar Suriah. Namun dalam beberapa tahun terakhir, tekanan ekonomi, kekosongan kekuasaan, dan meningkatnya kehadiran kelompok bersenjata membuat komunitas ini mulai membentuk milisi pertahanan sendiri.
Di sisi lain, suku Badui, yang hidup nomaden dan tersebar di padang gurun Suriah hingga Irak dan Yordania, juga sering kali termarjinalkan dalam struktur sosial dan politik negara. Ketegangan antara mereka dengan komunitas lokal lainnya sudah menjadi persoalan laten sejak sebelum perang Suriah meletus.
Kondisi ini membuat konflik antara Druze dan Badui bukan hanya persoalan lokal, tetapi juga mencerminkan persoalan identitas, representasi politik, dan ketimpangan sosial yang semakin memburuk di Suriah pasca perang.
Konflik yang kini berlangsung di Sweida dan wilayah selatan Suriah menunjukkan bahwa meskipun perang besar telah mereda, benih-benih kekerasan dan konflik sektarian masih sangat rentan untuk meledak kapan saja. qiuqiu99
Selama tidak ada solusi politik yang inklusif, kehadiran negara yang kuat dan adil, serta rekonsiliasi antar komunitas, maka perdamaian jangka panjang di Suriah masih menjadi harapan yang jauh dari kenyataan.
Masyarakat internasional dan lembaga-lembaga kemanusiaan pun dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana mencegah agar konflik kecil ini tidak berkembang menjadi perang berkepanjangan yang kembali memakan korban tak bersalah.