
Suasana politik nasional kembali memanas setelah Partai Amanat Nasional (PAN) secara resmi mengumumkan penonaktifan dua kader sekaligus anggota DPR, yakni Eko Patrio dan Uya Kuya. Keputusan ini diambil menyusul keterlibatan keduanya dalam aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI, yang berujung ricuh dan menelan korban jiwa.
Langkah ini mengejutkan publik, sebab Eko Patrio dan Uya Kuya dikenal bukan hanya sebagai politisi, tetapi juga figur publik yang sebelumnya sukses di dunia hiburan. Penonaktifan ini menimbulkan perdebatan luas, baik di kalangan politikus, pengamat, maupun masyarakat.
Aksi demonstrasi besar-besaran di depan Gedung DPR RI, Senayan, pada 25 Agustus 2025, diwarnai bentrokan antara aparat kepolisian dan massa. Insiden tersebut menyebabkan beberapa orang luka-luka bahkan ada korban jiwa, termasuk seorang driver ojek online, Affan Kurniawan, yang tewas setelah tertabrak kendaraan taktis Brimob.
Dalam kericuhan itu, sejumlah tokoh politik hadir, termasuk Eko Patrio dan Uya Kuya. Kehadiran keduanya sebagai anggota DPR dinilai tidak sesuai etika politik, terutama karena mereka dianggap ikut berorasi dengan nada provokatif.
Pimpinan PAN pun langsung menggelar rapat darurat pasca-kejadian. Hasilnya, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN mengumumkan penonaktifan keduanya dari seluruh aktivitas kepartaian dan kedewanan.
Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, dalam konferensi pers di Jakarta, menegaskan bahwa langkah ini diambil untuk menjaga marwah partai. “Kami di PAN tidak menoleransi tindakan kader yang mencederai etika politik dan menyebabkan kegaduhan publik.

Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menonaktifkan sementara Saudara Eko Patrio dan Saudara Uya Kuya dari jabatan sebagai anggota DPR dan seluruh kegiatan partai hingga ada hasil investigasi,” kata Zulhas.
Ia menambahkan, PAN memiliki mekanisme internal untuk menilai pelanggaran kader, dan kasus ini akan segera diproses oleh Mahkamah Partai. Zulhas menegaskan bahwa partainya tidak ingin terbawa arus populisme atau pencitraan yang justru merugikan kepentingan rakyat.
Mendengar keputusan tersebut, baik Eko Patrio maupun Uya Kuya menyatakan kekecewaannya. Dalam wawancara terpisah, Eko Patrio menegaskan bahwa ia turun ke lapangan bukan untuk memprovokasi, melainkan untuk mendengarkan langsung aspirasi rakyat.
Baca Juga: OTT Wamenaker Immanuel Ebenezer Jadi Sorotan Media Asing
“Saya datang ke sana karena banyak konstituen yang meminta saya hadir. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa wakil rakyat ada bersama mereka. Saya tidak pernah berniat untuk memprovokasi apalagi memicu kericuhan,” ujar Eko.
Sementara itu, Uya Kuya menilai bahwa keputusan partai terlalu terburu-buru. “Saya merasa tidak adil kalau langsung dinonaktifkan tanpa ada klarifikasi yang menyeluruh. Saya siap menjalani investigasi, tapi saya berharap PAN juga mendengar sisi kami,” ungkap Uya Kuya.
Keputusan PAN ini menimbulkan reaksi beragam di masyarakat. Sebagian publik menilai bahwa langkah tersebut tepat untuk menjaga kredibilitas partai. Namun, tidak sedikit pula yang menganggap penonaktifan ini terlalu keras.
Mengingat peran anggota DPR seharusnya memang mendengarkan aspirasi rakyat, meskipun di jalanan. Pengamat politik dari Universitas Indonesia, Adi Prayitno, menilai langkah PAN cukup berani.
“PAN tampaknya ingin menjaga citra sebagai partai yang bersih dan tertib. Namun, langkah ini juga bisa berisiko, karena Eko Patrio dan Uya Kuya adalah figur populer yang punya basis massa luas. Ada kemungkinan keputusan ini justru memunculkan simpati publik kepada mereka,” ujarnya.
Dengan penonaktifan ini, posisi Eko Patrio dan Uya Kuya di DPR otomatis akan dibekukan sementara. Meski demikian, mekanisme pergantian antar waktu (PAW) belum diberlakukan, karena status keduanya masih dalam tahap investigasi.
Jika Mahkamah Partai PAN memutuskan bahwa keduanya terbukti melanggar kode etik berat, maka bukan tidak mungkin mereka akan diberhentikan permanen sebagai anggota DPR. Namun, jika hasil investigasi menunjukkan bahwa mereka tidak bersalah, ada kemungkinan keduanya dipulihkan kembali.
Kasus ini kembali membuka diskusi mengenai masuknya figur publik ke dunia politik. Eko Patrio dan Uya Kuya adalah contoh artis yang berhasil meraih kursi DPR lewat popularitasnya. Namun, kehadiran mereka dalam aksi massa menimbulkan pertanyaan besar tentang sejauh mana figur publik memahami batasan peran mereka sebagai wakil rakyat.
Beberapa kalangan menilai bahwa fenomena artis masuk politik seringkali membawa dilema: di satu sisi mereka mudah diterima masyarakat, namun di sisi lain mereka rentan menggunakan panggung politik untuk pencitraan yang berlebihan.
Kasus penonaktifan Eko Patrio dan Uya Kuya menjadi peristiwa penting yang menyoroti hubungan antara politik, etika, dan popularitas. PAN, dengan langkah tegasnya, ingin menegaskan bahwa partai tetap menjunjung disiplin dan marwah institusi. qiuqiu99
Meski demikian, polemik ini masih jauh dari selesai. Investigasi internal PAN dan potensi dinamika politik di DPR akan menentukan nasib keduanya. Apakah Eko Patrio dan Uya Kuya akan kembali aktif sebagai anggota DPR, atau justru kehilangan kursi yang mereka duduki?
Yang pasti, kasus ini menjadi pelajaran penting bagi seluruh politisi – khususnya yang berlatar belakang selebritas – bahwa peran wakil rakyat tidak hanya soal popularitas, tetapi juga tanggung jawab moral dan etika politik di hadapan publik.