
Mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto, kembali menjadi sorotan publik setelah mendapatkan pembebasan bersyarat dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas). Nama Setnov—sapaan akrabnya—memang tak asing dalam daftar tokoh politik Indonesia yang tersandung kasus besar.
Ia divonis 15 tahun penjara pada 2018 karena terlibat dalam kasus korupsi proyek e-KTP yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun. Meski vonis yang dijatuhkan cukup berat, kini Setya Novanto sudah bisa menghirup udara bebas melalui mekanisme pembebasan bersyarat.
Kabar ini menimbulkan beragam reaksi di tengah masyarakat, mulai dari pertanyaan soal aturan hukum yang berlaku, hingga perdebatan mengenai keadilan dalam penegakan hukum di Indonesia.
Lalu, apa sebenarnya pembebasan bersyarat itu, dan bagaimana mekanismenya hingga Setnov bisa keluar lebih cepat dari balik jeruji?

Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, pembebasan bersyarat adalah salah satu hak narapidana berupa kesempatan untuk menjalani sisa masa pidananya di luar lembaga pemasyarakatan dengan pengawasan tertentu.
Secara sederhana, pembebasan bersyarat adalah bentuk keringanan bagi narapidana untuk kembali hidup di tengah masyarakat sebelum masa hukumannya benar-benar selesai. Namun, narapidana tetap memiliki kewajiban menjalani aturan yang ditetapkan, dan sewaktu-waktu bisa ditarik kembali ke penjara bila melanggar syarat yang diberikan.
Tak semua narapidana bisa langsung mendapatkan pembebasan bersyarat. Ada sejumlah aturan yang mengikat, baik secara administratif maupun substantif.
Baca Juga: Eks Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas Dicegah KPK ke Luar Negeri
Berdasarkan regulasi, narapidana berhak mendapatkan pembebasan bersyarat apabila:
- Telah menjalani minimal dua pertiga masa pidana, dengan ketentuan paling sedikit sembilan bulan.
- Berperilaku baik selama menjalani masa hukuman di dalam lapas.
- Tidak sedang menjalani pidana kurungan pengganti denda.
- Tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam waktu enam bulan terakhir.
- Bersedia menandatangani perjanjian tidak akan melanggar hukum kembali.
Selain itu, ada aturan khusus bagi narapidana kasus korupsi, terorisme, narkotika, hingga pelanggaran HAM berat. Mereka diwajibkan membayar lunas denda atau uang pengganti sesuai putusan pengadilan.
Dalam kasus Setya Novanto, ia diketahui sudah menjalani lebih dari dua pertiga masa hukumannya di Lapas Sukamiskin, Bandung, serta memenuhi syarat administratif yang ditentukan. Proses pembebasan bersyarat tidak serta merta langsung diberikan begitu saja, tetapi melalui mekanisme yang panjang:
- Pengajuan Permohonan, Narapidana atau pihak keluarganya bisa mengajukan permohonan pembebasan bersyarat ke pihak Lapas.
- Penilaian Lapas, Petugas Lapas akan menilai kelakuan narapidana selama menjalani hukuman. Jika dianggap memenuhi syarat, maka permohonan diteruskan ke tingkat yang lebih tinggi.
- Verifikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS), Permohonan kemudian diverifikasi oleh Ditjen PAS Kementerian Hukum dan HAM.
- Keputusan Menteri Hukum dan HAM, Setelah melalui berbagai tahapan, keputusan akhir tetap berada di tangan Menteri Hukum dan HAM.
Jika dinyatakan layak, maka narapidana akan mendapatkan surat keputusan resmi pembebasan bersyarat. Meski sudah berada di luar penjara, narapidana yang memperoleh pembebasan bersyarat masih dalam pengawasan. Mereka wajib melapor secara berkala ke Balai Pemasyarakatan (Bapas).
Jika dalam periode pembebasan bersyarat terbukti melanggar hukum atau aturan yang ditetapkan, maka status kebebasannya bisa dicabut, dan narapidana wajib kembali ke penjara untuk menjalani sisa masa pidananya.
Dengan kata lain, pembebasan bersyarat bukanlah kebebasan mutlak, melainkan kesempatan untuk beradaptasi kembali ke masyarakat dengan syarat-syarat tertentu.
Publik menyoroti kebebasan Setya Novanto bukan hanya soal aturan hukum, tetapi juga citra dirinya yang sempat heboh dengan berbagai kontroversi. Mulai dari drama kecelakaan mobil di saat pemeriksaan KPK, hingga isu pelesiran saat masih berstatus narapidana.
Kritik muncul karena sebagian masyarakat menilai hukuman koruptor di Indonesia sering dianggap ringan, apalagi jika kemudian bisa mendapatkan pembebasan bersyarat. Bagi sebagian kalangan, hal ini dianggap mencederai rasa keadilan, terutama di tengah kerugian besar negara akibat kasus korupsi.
Namun dari sisi hukum, jika semua syarat sudah dipenuhi, maka pemberian pembebasan bersyarat adalah hak narapidana yang diakui undang-undang, termasuk bagi Setya Novanto. qiuqiu99
Pembebasan bersyarat Setya Novanto kembali memunculkan perdebatan publik tentang konsistensi penegakan hukum di Indonesia. Di satu sisi, aturan hukum memang memberikan hak kepada setiap narapidana, termasuk koruptor, untuk mendapatkan keringanan jika syarat-syaratnya terpenuhi.
Namun di sisi lain, kasus ini kembali membuka luka lama masyarakat yang kecewa terhadap maraknya kasus korupsi di tanah air. Bagaimanapun, transparansi proses hukum serta pengawasan ketat terhadap narapidana bebas bersyarat menjadi kunci agar aturan ini tidak dipandang sebagai celah bagi pelaku kejahatan besar untuk lolos dari hukuman.