
Fenomena viral pengibaran bendera “Jolly Roger” khas anime One Piece jelang perayaan HUT ke‑80 RI mengundang sorotan serius dari Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Wakil Ketua Fraksi Partai Golkar MPR, Firman Soebagyo, menyatakan bahwa aksi tersebut berpotensi provokatif dan subversif, bahkan dapat dikategorikan sebagai upaya makar.
Dalam beberapa minggu terakhir, video dan foto banyak beredar di media sosial yang menampilkan warga maupun komunitas kecil memasang bendera One Piece kadang berdampingan atau bahkan lebih tinggi dari Merah Putih sebagai bentuk ekspresi kreativitas atau kritik sosial.
Beberapa individu menyampaikan bahwa tindakan tersebut merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dalam kehidupan sehari‑hari. Namun, menurut Firman Soebagyo, simbol fiksi ini tidak relevan atau pantas digunakan dalam konteks kenegaraan, karena dapat melemahkan nilai hukum dan martabat simbol negara.
Pada konferensi pers di Kompleks Parlemen, Senin, 31 Juli 2025, Firman mengeluarkan pernyataan tegas: “Ini cara‑cara provokatif yang ingin menjatuhkan pemerintahan. Tidak boleh.”
Ia menegaskan bahwa perlu ada tindakan dari aparat penegak hukum untuk melakukan interogasi dan klarifikasi terhadap siapa yang ingin atau memerintahkan pengibaran simbol ini, dengan motif apa, hingga dilakukan pembinaan khusus.

Tidak hanya MPR, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, turut memberikan peringatan. Menurutnya, pengibaran bendera fiksi ini merupakan bagian dari strategi sistematis untuk: “membedah kesatuan dan persatuan bangsa” berdasarkan masukan intelijen nasional.
Dasco juga mengajak publik agar tidak mudah terprovokasi dan menekankan pentingnya menjaga solidaritas nasional. Ia menilai bahwa simbol seperti ini bisa memicu perpecahan jika dipakai di konteks yang salah.
Menambah dimensi respons, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam), Budi Gunawan, menyatakan bahwa pengibaran bendera One Piece sebagai pengganti atau sejajar bendera Merah Putih dapat dikenai sanksi pidana. Tindakan tersebut melanggar ketentuan Undang‑Undang No. 24 Tahun 2009 Pasal 24 ayat (1), yang melarang bendera lain dikibarkan di atas atau sejajar bendera negara.
Firman kritis menilai bahwa fenomena ini mencerminkan menurunnya pemahaman generasi muda terhadap nilai‑nilai Pancasila. Ia menyebut bahwa pelarangan pengibaran bendera fiksi bukan hanya soal hukum, tetapi juga soal memperbaiki pondasi ideologi nasional.
Baca Juga: DPR Minta Polisi Usut Kasus Keracunan Massal Makanan Bergizi Gratis di NTT
Sementara sebagian legislatif memandang fenomena ini sebagai ancaman, pandangan akademik menyajikan perspektif berbeda. Konselor kebudayaan, seperti Dr. Rudi Pratama (budaya pop) dan Dr. Dina Santi (sosiologi), melihat pengibaran bendera hantu fiksi itu sebagai bentuk kritik sosial dari generasi muda yang merasa tidak diberdayakan secara formal.
Suara netizen pun terbagi. Banyak yang mendukung ekspresi kreatif berekspresi, tetapi warganet lain mengingatkan bahwa simbol negara harus dijaga kehormatannya. Beberapa tangkapan komentar netizen mengisyaratkan bahwa pengibaran fiksi di ruang publik dapat memicu interpretasi negatif, terutama jika penempatannya melampaui batas protokol bendera nasional.
Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari Kepolisian RI mengenai apakah akan menindak kasus pengibaran bendera One Piece tersebut. Namun, MPR dan DPR telah menuntut tindakan serius dan investigasi terhadap motif serta keterlibatan pelaku.
Fenomena viral bendera One Piece memang mencerminkan kreativitas dan keresahan sosial di kalangan anak muda. Namun, dari sudut pandang hukum dan ideologi, pengibaran simbol fiksi itu menabrak batas yang diatur dalam Undang‑Undang dan dinilai bisa menyuburkan gerakan anti-pemerintah atau subversif. vipqiuqiu99
Untuk publik figur dan kreator konten, kasus ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berekspresi tetap harus menghormati nilai simbolik dan kerja hukum negara. Bagi masyarakat luas, ini kesempatan untuk memahami antara hak berekspresi yang sah dan kewajiban menghormati tatanan simbol nasional.